sejarah pesantren


Pesantren adalah bentuk pendidikan tradisional di Indonesia yang sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad. Nurcholis Madjid dalam buku beliau yang berjudul Bilik-Bilik Pesantren (Paramadina-Jakarta, 1997) menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini kita memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur yaitu Santri, Kyai, dan Asrama.

A. SEJARAH PESANTREN TEBU IRENG
Pondok Pesantren Tebu ireng didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzul Qa’dah 1287 H. bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Kelahiran beliau berlangsung di rumah kakeknya, Kyai Utsman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang Jombang. Hasyim kecil tumbuh dibawah asuhan ayah, ibu dan kakeknya di Gedang. Dan seperti lazimnya anak kyai pada saat itu, Hasyim tak puas hanya belajar kepada ayahnya, pada usia 15 tahun ia pergi ke Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan lalu pindah ke Pondok Pesantren Langitan Tuban dan ke Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar bahwa di Madura ada seorang kyai yang masyhur, maka setelah menyelesaikan belajarnya di Pesantren Tenggilis ia berangkat ke Madura untuk belajar pada Kyai Muhammad Kholil. Dan masih banyak lagi tempat Hasyim menimba ilmu pengetahuan agama, hingga ahirnya beliau diambil menantu oleh salah satu gurunya yaitu Kyai Ya’qub, pada usia 21 tahun Hasyim dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nafisah pada tahun 1892.

Selanjutnya bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya. Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar yaitu Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya. Sejak pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren terkemuka dan bahkan ke tanah suci Mekkah, beliau ingin mengamalkan ilmu yang telah beliau dapatkan.


Akhirnya beliau mendirikan pondok pesantren yang diberi nama pondok pesantren Tebu ireng. Pondok pesantren Tebu ireng merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang Propinsi Jawa Timur. Pondok pesantren Tebu ireng terletak didelapan kilometer selatan kota Jombang, tepatnya berada di tepi jalan raya jurusan Jombang – Kediri. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tebu ireng berasal dari “kebo ireng” (kerbau hitam). Konon, ketika itu ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule atau albino).

Suatu hari, kerbau tersebut menghilang. Setelah dicari kian kemari, menjelang senja baru ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula kuning berubah hitam. Peristiwa mengejutklan ini menyebabkan pemilik kerbau berteriak “kebo ireng …! kebo ireng …!. Sejak itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama “Kebo Ireng”. Namun ada versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebu ireng bukan berasal dari kebo ireng seperti cerita di atas, tetapi diambil dari seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut. Namun pada perkembangan selanjutnya, ketika dusun itu mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebu ireng. Tidak diketahui dengan pasti apakah karena itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut yang telah banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu sebagai bahan baku gula, yang mungkin tebu yang ditanam berwarna hitam, maka pada akhirnya dusun tersebut berubah menjadi Tebu ireng.

Tebu ireng dulu dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran dan semua perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari bersama beberapa santri yang beliau bawa dari pesantren kakeknya (Gedang) pada tahun 1899 M. secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut mulai berubah semakin baik, semua perilaku negatif masyarakat di Tebuireng terkikis habis dalam masa yang relatif singkat dan santri yang mulanya hanya beberapa orang dalam beberapa bulan saja jumlahnya meningkat menjadi 28 orang. Awal mula kegiatan dakwah Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari dipusatkan di sebuah bangunan kecil yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman bambu (Jawa: gedek), bekas sebuah warung pelacuran yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang beliau beli dari seorang dalang terkenal.

Satu ruang depan untuk kegiatan pengajian, sementara yang belakang sebagai tempat tinggal Kyai Hasyim Asy’ari bersama istri tercinta Ibu Nyai Khodijah.Tentu saja dakwah Kyai Hasyim Asy’ari tidak begitu saja memperoleh sambutan baik dari penduduk setempat. Tantangan demi tantangan yang tidak ringan dari penduduk setempat datang silih berganti, para santri hampir setiap malam selalu mendapat tekanan fisik berupa senjata celurit dan pedang. Kalau tidak waspada, bisa saja diantara santri terluka karena bacokan. Bahkan untuk tidur para santri harus bergerombol menjauh dari dinding bangunan pondok yang hanya terbuat dari bambu itu agar terhindar dari jangkauan tangan kejam para penjahat.

Dan gangguan yang sampai dua setengah tahun lebih itu masih terus saja berlanjut, hingga Kyai Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirim utusan ke Cirebon guna mencari bantuan berbagai macam ilmu kanuragan kepada 5 kyai yaitu Kyai Saleh Benda, Kyai Abdullah Pangurangan, Kyai Syamsuri Wanatara, Kyai Abdul Jamil Buntet dan Kyai Saleh Benda Kerep. Dari kelima kyai itulah Kyai Hasyim Asy’ari belajar silat selama kurang lebih 8 bulan. Dan sejak itulah semakin mantap keberanian Kyai Hasim Asy’ari untuk melakukan ronda sendirian pada malam hari menjaga keamanan dan ketenteraman para santri. Dengan perjuangan gigih tak kenal menyerah Kyai Hasyim Asy’ari akhirnya berhasil membasmi kejahatan dan kemaksiatan yang telah demikian kentalnya di Tebu ireng. Pesantren tebu ireng mempunyai peranan besar dalam dunia pendidikan di Indonesia Salah satu bukti terbaiknya adalah pondok pesantren tebu ireng telah melahirkan beberapa tokoh besar seperti mantan presiden RI, Gus Dur.

Keberadaan Pondok Pesantren Tebu ireng semakin mendapat perhatian dari masyarakat luas. Dalam perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebu ireng telah mengalami 7 kali periode kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan Tebuireng sebagai berikut :

1.Periode I : KH. Muhammad Hasyim Asy’ari : 1899 – 1947
2.periode II : KH. Abdul Wahid Hasyim : 1947 – 1950
3.Periode III : KH. Abdul Karim Hasyim : 1950 – 1951
4.Periode IV : KH. Achmad Baidhawi : 1951 – 1952
5.Periode V : KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953 – 1965
6.Periode VI : KH. Muhammad Yusuf Hasyim : 1965 – 2006
7.Periode VII : KH. Salahuddin Wahid : 2006 - sekarang



Pondok Pesantren

diposkan pada tanggal 10 Apr 2012 00.09 oleh Drs. H.Muhammad Solihin


Dalam buku Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia mengatakan, yang mula-mula mengadakan Pondok Pesantren itu ialah Maulana Malik Ibrahim. Di Pondok Pesantren itulah beliau mendidik guruguru agama dan mubaligh-mubaligh Islam yang menyiarkan agama Islam ke seluruh pulau Jawa.

Biasanya, pesantren terdiri dari sekumpulan pondok (surau kecil-kecil) yang terletak dekat sebuah masjid. Pondok-pondok itu didirikan dengan uang wakaf atau sedekah yang diberikan orangorang yang mampu, bahkan ada juga dengan kemauan dan ongkos sendiri dari santri-santri sendiri, memasak sendiri, mencuci sendiri dan mengurus hal ihwal sendiri. Bahan-bahan keperluan hidup seperti beras dan sebagainya mereka bawa dari kampung sendiri.

Tidak mudah untuk melacak asal-usul pesantren di Indonesia. Ini selain datanya tergolong langka, juga karena penelitian tentang sejarah awal pesantren selama ini hasilnya masih diperdebatkan. Mengacu pada hasil  pendataan Departemen Agama23 tahun 1984-1985, pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 M dengan nama Jan Tampes II di Pamekasan Madura.

Nama tersebut sekaligus mengundang tanda tanya tentang dugaan adanya pesantren Jan Tampes I sebagai pesantren yang lebih tua lagi. Menurut Mahpuddin Noor sebagaimana dikutip Steenbrink (1974:21), dilihat dari segi terminologis, sistem dan bentuknya, patut diduga bahwa model pendidikan pesantren itu berasal dari India. Sebab sebelum penyebaran Islam ke Indonesia, secara urnum sistem pesantren itu telah dilakukan dalam pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Istilah pesantren sendiri, konsep mengaji, pondok bukan istilah Arab, melainkan dari India. Ini diperkuat pula bahwa sistem pendidikan pesantren ala Indonesia itu tidak dijumpai pada tradisi pendidikan Islam di Mekah. Beberapa kesamaan lainnya dengan tradisi pendidikan Hindu, yaitu seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak bergaji, penghormatan yang besar terhadap guru, para murid yang pergi meminta-minta ke luar lingkungan pondok dan lokasi pondok yang berada di luar kota serta kebiasaan penyerahan tanah dari negara untuk kepentingan agama, terdapat dalam tradisi Hindu. Beberapa pandangan tadi ditentang oleh Mahmud Yunus.

Menurutnya model pembelajaran yang hanya mengutamakan materi pelajaran agama juga dapat ditemukan di Baghdad ketika menjadi pusat pendidikan dan ibukota wilayah Islam. Begitu juga tradisi penyerahan tanah oleh negara bagi pendidikan agama, dapat ditemukan dalam sistem  wakaf. Istilah pondok sendiri diduga juga berasal dari bahasa Arab, funduk yang berarti pesanggrahan atau penginapan. Meskipun begitu, pelabelan Arab sebagai unsur Islam atau bukan Islam merupakan tindakan menyederhanakan persoalan.

Menurut Zamakhsyari Dhafier, persoalan historis tentang asal usul pesantren itu bagaimana pun sulit dilepaskan dari sejarah kedatangan Islam ke Nusantara. Kuat dugaan bahwa Islam mulai diperkenalkan ke kepulauan Nusantara sejak abad ke 7 M oleh para musafir dan pedagang muslim melalui jalur perdagangan. Kemudian sejak abad 11 M, Islam telah mulai masuk ke kota-kota pantai di Nusantara. Selanjutnya beberapa bukti sejarah juga menunjukkan bahwa Islam secara intensif telah menyebar pada abad ke-13 sampai akhir abad 17. Pada masa itu, berdiri pusat-pusat kekuasaan Islam, seperti di Aceh,

Demak, Giri, Ternate, dan Gowa. Dari sinilah Islam tersebar ke seluruh pelosok nusantara melalui pedagang, wali, ulama, mubalig dengan mendirikan pesantren, dayah, dan surau. Sejak itu, Islam praktis telah menggantikan dominasi ajaran Hindu. Bahkan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa telah berhasil mengislamkan hampir sebagian besar masyarakat Jawa. 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi Nusantara ini pada periode abad 13-17 M, dan di Jawa terjadi dalam periode 15-16 M. Mengacu data sejarah tentang masuknya Islam ke Nusantara yang bersifat global ini, tentu sangat sulit untuk memastikan dengan tepat kapan dan di mana pesantren pertama didirikan. Sangat mungkin bahwa pesantren telah ada di Nusantara sejak
300-400 tahun yang lalu. Ini sekaligus semakin meneguhkan bahwa
pesantren telah menjadi bagian dari khazanah budaya bangsa yang mengakar dan berkonstribusi besar dalam penyiaran Islam dan pendidikan sejak dahulu kala. Setiap kali kita membicarakan sejarah eksistensi Pondok Pesantren, seringkali diidentikkan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Salah satu pendapat mengemukakan, ketika para pedagang muslim dari Gujarat sampai ke Indonesia, mereka menjumpai lembaga-lembaga keagamaan yang mengajarkan agama

Hindu. Kemudian setelah Islam tersebar luas di Nusantara, bentuk lembaga pendidikan keagamaan itu tetap berkembang dan isinya diubah dengan pengajaran agama Islam, yang kemudian disebut pesantren. 

Menurut Clifford Geertz dalam bukunya Islam Observed mengemukakan, Islam masuk ke Indonesia secara sistematis baru pada abad ke 14, berpapasan dengan suatu kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistem politik, nilai-nilai estetika dan kehidupan sosial keagamaan yang sangat maju.

Kehadiran orang-orang Barat di kepulauan Indonesia, lembagalembaga pendidikan ini tetap bertahan dengan jiwa dan semangat kemandiriannya, itulah sebutan pesantren, tempat para santri menimba agama Islam. Semasa penjajahan Belanda, lembaga ini tetap hidup dan berkembang di atas kekuatan sendiri dengan kemandiriannya, tidak mendapat bantuan dari pemerintah kolonial Belanda. Bagi pemerintah  Belanda, lembaga ini bukan hanya tidak bermanfaat bagi tujuan kolonial, akan tetapi dipandang amat berbahaya, karena Pondok

Pesantren ini tempat persemaian yang amat subur bagi kader-kader yang menentang penjajahan di muka bumi ini.28 Pondok Pesantren pada masa penjajahan, mengalami tekanan amat berat. Hal ini terjadi karena Pondok Pesantren memberikan pengajaran kepada para santrinya tentang cinta tanah air (hubbu al wathan) serta menanamkan sikap patriotik. Walaupun pada dasarnya hanya merupakan lembaga pendidikan keagamaan, namun lembaga ini mengutamakan pembinaan mental spiritual para santrinya. Inilah yang menjadi kekhawatiran para penjajah. Oleh karena itu, tidaklah heran ketika seorang tokoh Belanda, Snouck Horgronje, memandang lembaga pendidikan Pondok Pesantren, kelompok kyai, dan para santri, sesuatu yang amat berbahaya bagi kolonial Belanda. la mernahami benar kekuatan spiritual para kyai dan santri, bersumber dari kitab suci Alquran yang banyak dipelajari di pesantren-pesantren.

Upaya lain pemerintah kolonial Belanda, menawarkan bentuk pendidikan yang modern dalam performa sekolah, yang kemudian sekolah-sekolah kolonial Belanda berkembang menyaingi keberadaan Pondok Pesantren. Namun demikian, Pondok Pesantren tidaklah surut dari permukaan, bahkan semakin berkembang. Apalagi pada saat tumbuhnya berbagai organisasi keagamaan yang berbasiskan pada masyarakat luas, sekaligus menjadi angin segar bagi pertumbuhan dan  perkembangan Pondok Pesantren, karena organisasi tersebut mendukung eksistensi Pondok Pesantren.

Eksistensi Pondok Pesantren dari waktu ke waktu masih tetap bertahan, bahkan semakin berkembang hingga ke pelosok pedesaan. Animo masyarakat terhadap lembaga pendidikan Pondok Pesantren sebagai tempat mendidik putra-putrinya menunjukkan angka yang cukup signifikan. Indikatornya adalah setiap Pondok Pesantren di mana pun berada tak pernah luput dari para santri yang semata-mata ingin belajar
agama.

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2242089-sejarah-pesantren/#ixzz1rcMKY8lk

SAPA Teman-Teman anda di FACEBOOK